Vaksin, khususnya dalam konteks epidemiologi, telah dinyatakan sebagai barang publik. Artinya, pelaksanaan vaksinasi harus bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Inventarisasi dalam hal ini jelas dibutuhkan untuk menunjang sisi administrasi dan membantu pemerintah menerapkan akuntabilitas dalam proses pemberian vaksin kepada masyarakat. SMILE memfasilitasi inventarisasi vaksin yang dilengkapi alat pelacak GPS, teknologi IoT untuk pemantauan temperatur vaksin, dan kemudahan penggunaan aplikasi berbasis Android.Â
Sistem pencatatan dan pemantauan vaksin secara manual telah bergeser berkat kemajuan teknologi informatika dan telekomunikasi. Dalam tugas-tugas kepemerintahan, hal ini artinya besar karena administrasi menjadi sangat dimudahkan. Hal ini berlaku di semua level, dari puskesmas, kabupaten/kota, hingga provinsi dan pusat. “…dari sisi pengelolaan, SMILE bisa menggantikan sistem pencatatan, pelaporan dan bahkan administrasi di semua level. Vaksin ini adalah barang milik negara. Semua transaksi, termasuk pengajuan permintaan vaksin dari fasilitas kesehatan tingkat bahwa ke pusat dan serah terima barang, dan pengelolaannya harus baik,†ujar Syamsul yang menjabat sebagai Kepala Seksi Imunisasi Dasar di Direktorat Imunisasi pada 2018 hingga awal 2020.
Sebelumnya, di Indonesia, kebutuhan akan vaksin dihitung per tahun berdasarkan tingkat kelahiran bayi di suatu daerah. Dari jumlah itu, petugas puskesmas meminta vaksin berdasarkan kebutuhan per bulan dan mengirim permintaan tersebut ke tingkat yang lebih atas. Di provinsi, diperhitungkan juga estimasi sasaran berdasarkan data BPS. Akhirnya, dari pusat, vaksin didistribusikan ke daerah berdasarkan permintaan tersebut, yang juga mencakup jenis vaksinasi yang akan dijalankan.
Berbagai Jenis Vaksinasi di Indonesia
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, di Indonesia ada beberapa jenis program vaksinasi/imunisasi. Pertama, imunisasi dasar, yaitu yang diberikan kepada anak sebelum usia 1 tahun atau sebelum berulang tahun pertama. Vaksinnya antara lain terdiri atas vaksin BCG, Polio 1-4, HB0, campak, dan campak rubella. Kedua, imunisasi lanjutan, termasuk imunisasi pada anak sekolah, di mana beberapa vaksin dari imunisasi dasar perlu diulang hingga tingkat kekebalan yang terbentuk makin tinggi.
Di samping dua program di atas, ada juga imunisasi tambahan di mana dalam kondisi-kondisi tertentu diberikan imunisasi untuk menutup kesenjangan imunitas dalam populasi, misalnya imunisasi nasional seperti yang dilaksanakan dalam vaksinasi Covid-19 saat ini. Selain itu, ada yang disebut outbreak response immunization, atau ORI, yang termasuk dalam imunisasi tambahan. ORI adalah strategi sesuai asesmen untuk mengendalikan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB) di suatu wilayah, yang salah satu contohnya adalah kasus difteri di Kota Depok pada 2017.
Di luar itu, Indonesia telah berkomitmen untuk menambah jumlah antigen dalam program pengendalian penyakit sehingga ada imunisasi yang disebut sebagai demonstrasi program. Fokusnya adalah vaksin-vaksin baru, dengan tujuan agar pemerintah dapat mengetahui seberapa jauh satu vaksin dapat secara efektif mengurangi insiden dan prevalensi suatu penyakit tertentu, misalnya penyakit terkait rokok, penyakit japanese encephalitis, kanker serviks, dan sebagainya. Demonstrasi program ini lazimnya dilakukan hanya di beberapa provinsi terpilih, sesuai dengan skala prioritas dan rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).
Pelaporan Otomatis
SMILE, dengan mengumpulkan dan menampilkan data real-time, jika dulu hanya petugas imunisasi Puskesmas masing-masing yang tahu persis, kini memungkinkan Kepala Puskesmas, Dinas Kesehatan bahkan Kementerian Kesehatan mengetahui jumlah vaksin di Puskesmas A, B, dan C secara cepat. SMILE juga dapat diterapkan untuk mencakup imunisasi rutin, ORI, dan imunisasi lain-lain sekaligus COVID-19. Alhasil, petugas di tingkat lebih atas tidak perlu lagi meminta laporan setiap bulan atau secara berkala. Laporan mengenai kondisi tertentu dan transaksi harian dapat ditarik dari aplikasi secara otomatis, termasuk mengenai penggunaan logistik seperti safety box, alcohol swab dan lain-lain.
Lewat input data secara teratur pada aplikasi SMILE, hal-hal seperti ketidakcocokan dalam permintaan dan penawaran dapat dihindari, begitu juga pencatatan yang tidak lengkap. Petugas pemantau dapat mengetahui kapan saja apakah jumlah vaksin yang digunakan tergolong boros atau tidak. Misalnya, apakah seorang vaksinator menggunakan vaksin dalam jumlah di luar ketentuan. Dalam vaksinasi Covid-19, misalnya, vial hasil produksi Bio Farma berukuran 5 ml berisi 10 dosis dan ditujukan untuk pemakaian 8-9 orang.
Pada gilirannya, berapa kebutuhan vaksin bulan ini, di mana kekurangan stok vaksin sekarang, di mana vaksin yang hampir kadaluwarsa belum juga digunakan, di mana terjadi pemborosan vaksin, sejak kapan kekurangan vaksin terjadi, dan di mana persisnya posisi kekurangan vaksin, semuanya bisa diketahui. Selain mendukung administrasi, hal ini juga berperan besar untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan performa petugas di lapangan dan sektor kesehatan secara umum.
Pada 2020 SMILE memasang pelacak GPS di 70 kabupaten/kota di 34 ibukota provinsi (Jakarta mendapat lima), berikut kabupaten/kota penyangga yang tersebar di seluruh provinsi. Pada 2021, menyusul pemasangan pelacak GPS untuk puskesmas di 514 kab/kota di Indonesia dan 3.000 pencatat suhu berteknologi IoT secara bertahap. Hingga 2024, ditargetkan bahwa SMILE akan dapat digunakan di lebih dari 10.000 puskesmas di seluruh Indonesia.
Oleh: Levriana Yustriani