Kurangnya pemerataan infrastruktur adalah pekerjaan rumah NKRI yang hingga kini belum tuntas. SMILE beroperasi dengan memanfaatkan aplikasi android-mobile dan website. Belum lagi Melalui koneksi internet, teknologi mengirimkan data secara otomatis dan real-time. Kelancaran pertukaran data sangat mengandalkan jaringan telekomunikasi. Di wilayah Indonesia Timur, problem kesenjangan akses internet semakin mengemuka saat program imunisasi vaksin Covid-19 digulirkan dan perlu diakselerasi dengan sasaran vaksinasi lebih dari 180jt jiwa. Hingga awal 2021, lebih dari 10,000 Fasilitas Kesehatan di Indonesia telah mengunduh aplikasi SMILE untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran vaksin terutama vaksin COVID19.
Bagi banyak warga Jakarta, internet sudah menjadi fasilitas sehari-hari yang tanpanya hidup mungkin tak terbayangkan. Bermacam aktivitas, dari memesan makanan, pulang-pergi ke kantor, mencari jasa pembersih, membayar macam-macam tagihan, hingga menikmati hiburan, semua bisa dilakukan lewat aplikasi smartphone yang beroperasi dengan mengandalkan infrastruktur jaringan internet.
Namun, berbeda halnya dengan sesama warga NKRI yang kebetulan mendiami kawasan Indonesia lainnya. Contohnya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Wilayah yang mencakup 1.192 pulau ini tersebar di antara Laut Flores, Samudra Hindia, Timor Leste, dan Pulau Sumbawa (Nusa Tenggara Barat)—masing-masing membatasi sebelah utara, selatan, timur, dan barat NTT. Hanya lima pulau utama yang banyak didiami penduduk, yakni Flores, Sumba, Timor, Alor, dan Lembata. Meski demikian, populasi sebesar lebih dari lima juta jiwa di provinsi ini tentu berhak mendapatkan fasilitas telekomunikasi yang layak seperti halnya warga di provinsi lainnya.
Hari ini, sebagai daerah yang termasuk dalam kategori 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), infrastruktur telekomunikasi di NTT masih jauh dari memuaskan. Walau pemerintah pusat telah menjalankan proyek Palapa Ring, yaitu pembangunan jalur serat optik sepanjang 36 ribu kilometer di tujuh lingkar RI (Sumatra, Jawa, Kalimantan Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, Maluku), tetap dibutuhkan pembangunan BTS (Base Transceiver Station) dalam jumlah besar. BTS inilah yang menunjang koneksi nirkabel antara penyedia jaringan telekomunikasi dan pengguna.
Pada 2020, misalnya, masih ada 645 titik wilayah yang merupakan blank spot, alias tidak terjangkau sinyal telekomunikasi. Hingga 2019 tercatat 982 desa dan kota di NTT sudah memiliki menara BTS. Namun, untuk menjangkau seluruh wilayah NTT diperkirakan masih dibutuhkan penambahan sekitar 400 menara BTS, khususnya setelah terjadi badai siklon Seroja yang membuat provinsi ini porak-poranda pada 2-5 April 2021 yang baru lalu.
Teknologi Tinggi: Antara Impian dan Kenyataan
Gagasan di balik SMILE, yang ditampilkan lewat menu detail seputar mutu dan kuantitas vaksin, terwujud berkat inovasi teknologi digital, mulai dari aplikasi di ponsel pintar hingga Internet of Things (IoT). Kemajuan tersebut di konteks sistem kesehatan memberi dampak signifikan. Pengumpulan dan visualisasi data dapat diintegrasikan dan diakses dari mana saja dan kapan saja.
Dalam penyimpanan vaksinasi Covid-19, secara umum suhu yang ditetapkan tidak jauh berbeda dengan vaksin pada imunisasi rutin yakni 2-8°C. Berkat teknologi IoT, bila suhu di lemari pendingin berada di luar kisaran suhu ini, secara otomatis SMILE akan mencatat dan memunculkan notifikasi kepada pengguna SMILE, tanpa mereka perlu ada secara fisik di lokasi. Peringatan tersebut berguna sebagai indikasi kerusakan atau gangguan pada kulkas vaksin di suatu fasilitas layanan kesehatan sehingga tindakan dapat segera diambil. Bila dalam sejam setelah notifikasi terkirim tidak ada perubahan, maka SMILE akan kembali mengirimkan notifikasi via SMS dan e-mail.
Bisa dibayangkan bahwa dengan jaringan internet yang lemah, penerapan SMILE di NTT akan sangat terkendala. Tanpa pemantauan suhu vaksin secara otomatis, tenaga kesehatan harus bekerja keras untuk melakukan pemantauan dan penghitungan manual, yang berpotensi menurunkan efisiensi tingkat vaksinasi. Tingkat pembuangan vaksin akibat keterlambatan aksi penyelamatan vaksin tadi, bisa menjadi tinggi, seperti yang biasa terjadi sebelum era digitalisasi dalam sistem daring.
Namun, jangankan internet, stabilitas listrik pun kadang masih menjadi problem. VCCM (Vaccine Cold Chain Manager) yang bertugas untuk NTT, Novri, mengungkapkan bagaimana bimbingan teknis daring yang ia laksanakan untuk para nakes di NTT sering tersendat-sendat. Dalam sebuah sesi, misalnya, para peserta berkumpul di satu lokasi di Manggarai Timur, di mana sinyal telekomunikasi dianggap stabil, tapi yang terjadi justru mati listrik. Peserta pun “menghilang†dari jaringan internet berkali-kali sehingga keluar-masuk aplikasi Zoom.
“Mereka masuk lagi kemudian hilang lagi, saya terima lagi, itu berjam-jam, jadi saya sibuk hanya untuk itu, (…) masuk lagi, eh, tidak lama kemudian pergi lagi,†ujar Novri. “Saya tunggu beberapa menit, muncul lagi, kami bahas terkait data-data, mati lampu lagi. Ada sekitar dua atau tiga kali mati lampu, sementara mereka masih ada di tempat, semuanya, jadi saya juga nggak mau mengundurkan diri, tidak mau saya, ya, saya tunggu mereka,†lanjutnya. Hal seperti ini tak jarang ia menjumpai, termasuk para peserta dengan laptop tua yang tak dapat dioperasikan tanpa terhubung dengan terminal listrik.
Untuk mengakali keterbatasan telekomunikasi, Novri pun mengajak kabupaten yang infrastruktur telekomunikasinya paling bagus untuk menjadi “cantolan†bagi yang lain. Artinya, tenaga kesehatan di kabupaten yang lebih maju mendampingi mereka yang ada di kabupaten lain bilamana ada persoalan dalam pengelolaan aplikasi. Jadi ada simpul kemitraan yang terbentuk antar kabupaten/kota.
Menurut Novri, kawan-kawan nakes di NTT, yang sebagian besar perempuan, memiliki semangat belajar yang luar biasa, terlebih mengingat kondisi infrastruktur yang tidak memadai. Itu mengapa ia bertekad untuk terus memberikan pendampingan dan dukungan yang solid agar mereka mampu mengoperasikan SMILE dengan lancar dan mendukung vaksinasi Covid-19 nasional.
Oleh: Levriana Yustriani